Di dukung oleh

4shared.com - Free file sharing and storage

Mohon Di Klik iklan ini

Selasa, 08 Maret 2011

Ubud Bali

Ubud Bali merupakan kecamatan di kabupaten Gianyar bisa ditempuh dalam 45 menit perjalanan dari denpasar atau berjarak kurang lebih 30 km.

Pusat seni bali ada di ubud berbagai aneka barang dan kreasi seni ada di ubud dari lukisan, patung dan berkumpulnya para seniman tari semuanya ada di ubudUbud terkenal diantara para wisatawan mancanegara dan domestik karena lokasi ini terletak di antara sawah dan hutan yang terletak di antara jurang-jurang gunung yang membuat alam sangat indah serta sungai ayung yang masih alami.

ubud palace yang ada di ubud center


Selain itu Ubud dikenal karena seni dan budaya yang berkembang sangat pesat dan maju. Denyut nadi kehidupan masyarakat Ubud tidak bisa dilepaskan dari seni. Di sini banyak pula terdapat galeri-galeri seni, serta arena pertunjukan musik dan tari yang digelar setiap malam secara bergantian di segala penjuru desa. serta sebuah pasar yang disebut dengan pasar seni ubud. Di ubud terdapat sebuah sungai yang disebut dengan sungai ayung dimana sungai ini biasa dipakai sebagai tempat untuk melakukan aktivitas rafting
pura desa yang ada di ubud
pasar seni ubud

Ubud yang sebelumnya dikenal sebagai pusat seni bali saat ini telah berkembang dengan banyak didirikannya fasilitas wisata diantaranya hotel dan fasilitas wisata lainnya. Jika anda Wisata ke bali sempatkan diri anda menginap semalam di Ubud dan pastikan liburan anda ke bali akan menyenangkan


WARGA BALI

Keunikan Bali yang lain bisa dilihat lewat bagaimana manusia Bali melakukan pembinaan kekerabatan secara lahir dan batin. Manusia Bali begitu taat untuk tetap ingat dengan asal muasal darimana dirinya berasal. Hal inilah kemudian melahirkan berbagai golongan di masyarakatnya yang kini dikenal dengan wangsa atau soroh. Begitu banyak soroh yang berkembang di Bali dan mereka memiliki tempat pemujaan keluarga secara tersendiri.
Tatanan masyarakat berdasarkan soroh ini begitu kuat menyelimuti aktivitas kehidupan manusia Bali. Mereka tetap mempertahankan untuk melestarikan silsilah yang mereka miliki. Mereka dengan seksama dan teliti tetap menyimpan berbagai prasasti yang didalamnya berisi bagaimana silsilah sebuah keluarga Bali.
Beberapa soroh yang selama ini dikenal misalnya Warga Pande, Sangging, Bhujangga Wesnawa, Pasek, Dalem Tarukan, Tegeh Kori, Pulasari, Arya, Brahmana Wangsa, Bali Aga dan lainnya. Semuanya memiliki sejarah turun-temurun yang berbeda. Meski begitu, akhirnya mereka bertemu dalam siklus keturunan yang disebut Hyang Pasupati. Begitu unik dan menarik memahami kehidupan manusia Bali dalam kaitan mempertahankan garis leluhurnya tersebut. Sebagian kehidupan ritual mereka juga diabdikan untuk kepentingan pemujaan terhadap leluhur mereka

Identifikasi Orang Bali 

Suku bangsa Bali merupakan kelompok manusia yang terikat oleh kesadaran akan kesatuan budayanya, kesadaran itu diperkuat oleh adanya bahasa yang sama. Walaupun ada kesadaran tersebut, namun kebudayaan Bali mewujudkan banyak variasi serta perbedaan setempat. Agama Hindhu yang telah lama terintegrasikan ke dalam masyarakat Bali, dirasakan juga sebagai unsur yang memperkuat adanya kesadaran kesatuan tersebut.

Perbedaan pengaruh dari kebudayaan Jawa Hindhu di berbagai daerah di Bali dalam jaman Majapahit dulu, menyebabkan ada dua bentuk masyarakat Bali, yaitu masyarakat Bali - Aga dan masyarakat Bali Majapahit.
Masyarakat Bali Aga kurang sekali mendapat pengaruh dari kebudayaan Jawa - Hindhu dari Majapahit dan mempunyai struktur tersendiri. Orang Bali Aga pada umumnya mendiami desa-desa di daerah pegunungan seperti Sembiran, Cempaga Sidatapa, pedawa, Tiga was, di Kabupaten Buleleng dan desa tenganan Pegringsingan di Kabupaten Karangasem. Orang Bali Majapahit yang pada umumnya diam didaerah-daerah dataran merupakan bagian yang paling besar dari penduduk Bali.
Pulau Bali yang luasnya 5808,8 Km2 dibelah dua oleh suatu pegunungan yang membujur dari barat ke timur, sehingga membentuk dataran yang agak sempit. di sebelah utara., dan dataran yang lebih besar disebelah selatan. Pegunungan tersebut yang sebagian besar masih tertutup oleh hutan rimba, mempunyai arti yang penting dalam pandangan hidup dan kepercayaan penduduk. di wilayah pegunungan itulah terletak Kuil-kuil (pura) yang dianggap suci oleh orang Bali, seperti Pura Pulaki, Pura Batukaru, dan yang terutama sekali Pura Besakih yang terletak di kaki Gunung Agung.
Sedangkan arah membujur dari gunung tersebut telah menyebabkan penunjukan arah yang berbeda untuk orang Bali utara dan Orang Bali selatan. Dalam Bahasa Bali, kaja berarti ke gunung, dan kelod berarti ke laut. Untuk orang Bali Utara kaja berarti selatan, sedangkan untuk orang Bali selatan kaja berarti utara. Sebaliknya kelod untuk orang Bali utara berarti utara, dan untuk orang bali selatan berarti selatan. Perbedaan ini tidak saja tampak dalam penunjukan arah dalam bahasa Bali, tapi juga dalam aspek kesenian dan juga sedikit aspek bahasa. Konsep kaja kelod itu nampak juga dalam kehidupan sehari-hari, dalam upacara agama, letak susunan bangunan-bangunan rumah kuil dan sebagainya.
Bahasa Bali termasuk keluarga bahasa Indonesia. Dilihat dari sudut perbendaharaan kata dan strukturnya, maka bahsa Bali tak jauh berbeda dari bahsa Indonesia lainnya. Peninggalan prasasti zaman kuno menunjukkan adanya adanya suatu bahasa Bali kuno yang berbeda dari bahasa Bali sekarang. Bahasa Bali kuno tersebut disamping banyak mengandung bahsa Sansekrta, pada masa kemudiannya juga terpengaruh oleh bahasa Jawa Kuno dari jaman Majapahit, ialah jaman waktu pengaruh Jawa besar sekali kepada kebudayaan Bali. Bahasa Bali mengenal juga apa yang disebut "perbendaharaan kata-kata hormat", walaupun tidak sebanyak perbendaharaan dalam bahasa Jawa. Bahasa hormat (bahasa halus) dipakai kalau berbicara dengan orang-orang tua atau tinggi. Di Bali juga berkembang kesusasteraan lisan dan tertulis baik dalam bentuik puisi maupun prosa. Disamping itu sampai saat ini di bali didapati juga sejumlah hasil kesusasteraan Jawa Kuno (kawi) dalam bentuk prosa maupun puisi yang dibawa ke Bali tatkala Bali di bawah kekuasaan kerajaan Majapahit.
Sistem Kekerabatan Orang Bali
Perkawinan merupakan suatu saat yang amat penting dalam kehidupan orang Bali, karena pada saat itulah ia dapat dianggap sebagai warga penuh dari masyarakat, dan baru sesudah itu ia memperoleh hak-hak dan kewajiban seorang warga komuniti dan warga kelompok kerabat.
Menurut anggapan adat lama yang amat dipengaruhi oleh sistem klen-klen (dadia) dan sistem kasta (wangsa), maka perkawinan itu sedapat mungkin dilakukan diantara warga se-klen, atau setidak-tidaknya antara orang yang dianggap sederajat dalam kasta. Demikian, perkawinan adat di Bali itu bersifat endogami klen, sedangkan perkawinan yang dicita-citakan oleh orang Bali yang masih Kolot adalah perkawinan antara anak-anak dari dua orang saudara laki-laki. Keadaan ini memang menyimpang dari lain-lain masyarakat yang berklen, yang pada umumnya bersifat exogam.
Orang-orang se-klen di Bali itu, adalah orang orang yang setingkat kedudukannya dalam adat dan agama, dan demikian juga dalam kasta, sehingga dengan berusaha untuk kawin dalam batas klennya, terjagalah kemungkinan akan ketegangan-keteganagan dan noda-noda keluarga yang akan terjadi akibat perkawinan antar kasta yang berbeda derajatnya. Dalam hal ini terutama harus dijaga agar anak wanita dari kasta yang tinggi jangan sampai kawin dengan pria yang lebih rendah derajat kastanya, karena perkawinan itu akan membawa malu kepada keluarga, serta menjatuhkan gengsi dari seluruh kasta dari anak wanita tersebut.
Dahulu, apabila ada perkawinan semacam itu, maka wanitannya akan dinyatakan keluar dari dadianya, dan secara fisik suami-istri akan dihukum buang (maselong) untuk beberapa lama, ketempat yang jauh dari tempat asalnya. Semenjak tahun 1951, hukuman sermacam itu tidak pernah dijalankan lagi, dan pada saat ini hukuman campuran semacam itu relatif lebih banyak dilaksanakan. Bentuk perkawinan lain yang dianggap pantang adalah perkawinan bertukar antara saudara perempuan suami dengan saudara laki-laki istri (makedengan ngad), karena perkawinan yang demikian itu dianggap dapat mendatangkan bencana (panes). Pada umumnya, seorang pemuda Bali memperoleh seorang istri dengan dua cara, yaitu dengan meminang (memadik, ngidih) kepada keluarga gadis, atau denganacara melarikan seorang gadis (mrangkat,ngrorod). Kedua cara diatas berdasarkan adat.
Sesudah pernikahan, suami-istri yang baru biasanya menetap secara virilokal dikomplek perumahan dari orang tua suami, walauntidak sedikit suami istri yang menetap secara neolokal dengan mencari atau membangun rumah baru. Sebaliknya ada pula suami istri baru yang menetap secara uxorilokal dikomplek perumahan dari keluarga istri (nyeburin). Kalau suami istri menetap secara virilokal, maka anak-anak keturunan mereka selanjutnya akan diperhitungkan secara patrilineal (purusa), dan menjadi warga dari dadia si suami dan mewarisi harta pusaka dari klen tersebut. Sebaliknya, keturunan dari suami istri yang menetap secara uxorilokal akan diperhitungkan secara matrilineal menjadi warga dadia si istri, dan mewarisi harta pusaka dari klen itu. Dalam hal ini kedudukan si istri adalah sebagai sentana(penerus keturunan).
Suatu rumah tangga di Bali biasanya terdiri dari suatu keluarga batih yang bersifat monogami, sering ditambah dengan anak laki-laki yang sudah kawin bersama keluarga batih mereka masing-masing dan dengan orang lain yang menumpang, baik orang yang masih kerabat maupun orang yang bukan kerabat. Beberapa waktu kemudian terdapat anak laki-laki yang sudah maju dalam masyarakat sehingga ia merasa mampu untuk berdiri sendiri, memisahkan diri dari orang tua dan mendirikajn rumah tangga sendiri yang baru. Salah satu anak laki-laki biasanya tetap tinggal di komplek perumahan orang tua (ngerob), untuk nanti dapat membantu orang tua mereka kalau sudah tidak berdaya lagi dan untuk selanjutnya menggantikan dan melanjutkan rumah tangga orang tua.
Tiap-tiap keluarga batih maupun keluarga luas, dalam sebuah desa di Bali harus memelihara hubungan dengan kelompok kerabatnya yang lebih luas yaitu klen (tunggal dadia). Strutur tunggal dadia ini berbeda-beda di berbagai tempat di Bali. Di desa-desa pegunungan, orang-orang dari tunggal dadia yang telah memencar karena hidup neolokal, tidak usah lagi mendirikan tempat pemujaan leluhur di masing-masing tempat kediamannya. didesa-desa tanah datar, orang-orang dari tunggal dadia yang hidup neolokal wajib mendirikan mendirikan tempat pemujaan di masing-nasing kediamannya, yang disebut kemulan taksu.
Disamping itu, keluarga batih yang hidup neolokal masih mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap kuil asal (dadia atau sanggah) di rumah orang tua mereka.Suatu pura ditingkat dadia merayakan upacara-upacara sekitar lingkaran hidup dari semua warganya, dan dengan demikian pura/kuil tersebut mempersatukan dan mengintensifkan rasa solidaritet anggota-anggota dari suatu klen kecil.
Di samping itu ada lagi kelompok kerabat yang lebih besar yang melengkapi beberapa kerabat tunggal dadia (sanggah) yang memuja kuil leluhur yang sama disebut kuil (pura) paibon atau panti. Dalam prakteknya, suatu tempat pemujaan di tingkat paibon juga hanya mempersatukan suatu lingkaran terbatas dari kaum kerabat yang masih dikenal hubungannya saja. Klen-klen besar sering juga mempunyai suatu sejarah asal-usul yang ditulis dalam bentuk babad dan yang disimpan sebagai pusaka oleh salah satu dari keluarga-keluarga yang merasa dirinya senior, ialah keturunan langsung dan salah satu cabang yang tua dalam klen.

Sistem Kemasyarakatan Orang Bali

Banjar
Merupakan bentuk kesatuan-kesatuan sosial yang didasarkan atas kesatuan wilayah. Kesatuan sosial itu diperkuat oleh kesatuan adat dan upacara-upacara keagaman yang keramat. Didaerah pegunungan, sifat keanggotaan banjar hanya terbatas pada orang yang lahir di wilayah banjar tersebut. Sedangkan didaerah datar, sifat keanggotaannya tidak tertutup dan terbatas kepada orang-orang asli yang lahir di banjar itu. Orang dari wilayah lain atau lahir di wilayah lain dan kebetulan menetap di banjar bersangkutan dipersilakan untuk menjadi anggota(krama banjar) kalau yang bersangkutan menghendaki.
Pusat dari bale banjar adalah bale banjar, dimana warga banjar bertemu pada hari-hari yang tetap. Banjar dikepalai oleh seorang kepala yang disebut kelian banjar. Ia dipilih dengan masa jabatab tertentu oleh warga banjar. Tugasnya tidak hanya menyangkut segala urusan dalam lapangan kehidupan sosial dari banjar sebagai suatu komuniti, tapi juga lapangan kehidupan keagamaan. Kecuali itu ia juga harus memecahkan masalah yang menyangkut adat. Kadang kelian banjar juga mengurus hal-hal yang sifatnya berkaitan dengan administrasi pemerintahan.
Subak 
Subak di Bali seolah-olah lepas dari dari Banjar dan mempunyai kepala sendiri. Orang yang menjadi warga subak tidak semuanya sama dengan orang yang menjadi anggota banjar. Warga subak adalah pemilik atau para penggarap sawah yang yang menerima air irigasinya dari dari bendungan-bendungan yang diurus oleh suatu subak. Sudah tentu tidak semua warga subak tadi hidup dalam suatu banjar. Sebaliknya ada seorang warga banjar yang mempunyai banyak sawah yang terpencar dan mendapat air irigasi dari bendungan yang diurus oleh beberapa subak. Dengan demikian warga banjar tersebtu akan menggabungkan diri dengan semua subak dimana ia mempunya sebidang sawah.
Sekaha 
Dalam kehidupan kemasyarakatan desa di Bali, ada organisasi-organisasi yang bergerak dalam lapangan kehidupan yang khusus, ialah sekaha. organisasi ini bersifat turun-temurun, tapi ada pula yang bersifat sementara. Ada sekaha yang fungsinya adalah menyelenggarakan hal-hal atau upacara-upacara yang berkenan dengan desa, misalnya sekaha baris (perkumpulan tari baris), sekaha teruna-teruni. Sekaha tersebut sifatnya permanen, tapi ada juga sekaha yang sifatnya sementara, yaitu sekaha yang didirikan berdasarkan atas suatu kebutuhan tertentu, misalnya sekaha memula (perkumpulan menanam), sekaha manyi (perkumpulan menuai), sekaha gong (perkumpulan gamelan) dan lain-lain. sekaha-sekaha di atas biasanya merupakan perkumpulan yang terlepas dari organisasi banjar maupun desa.
Gotong - Royong
Dalam kehidupan berkomuniti dalam masyarakat Bali dikenal sistem gotong royong (nguopin) yang meliputi lapangan-lapangan aktivitet di sawah (seperti menenem, menyiangi, panen dan sebagainya), sekitar rumah tangga (memperbaiki atap rumah, dinding rumah, menggali sumur dan sebagainaya), dalam perayaan-perayaan atau upacara-upacara yang diadakan oleh suatu keluarga, atau dalam peristiwa kecelakaan dan kematian. nguopin antara individu biasanya dilandasi oleh pengertian bahwa bantuan tenaga yang diberikan wajib dibalas dengan bantuan tenaga juga. kecuali nguopin masih ada acara gotong royong antara sekaha dengan sekaha. Cara serupa ini disebut ngedeng (menarik). Misalnya suatu perkumpulan gamelan ditarik untuk ikut serta dalam menyelenggarakan suatu tarian dalam rangka suatu upacara odalan. bentuk yang terakhir adalah kerja bhakti (ngayah) untuk keprluan agama,masyarakat maupun pemerintah.

--------------------------------------------------------------------------------
Kesatuan-kesatuan sosial di atas, biasanya mempunyai pemimpin dan mempunyai kitab-kitab peraturan tertulis yang disebut awig-awig atau sima. Pemimpin biasanya dipilih oleh warganya. Klen-klen juga mempunyai tokoh penghubung yang bertugas memelihara hubungan antara warga-warga klen, menjadi penasehat bagi para warga mengenai seluk beluk adat dan peristiwa-peristiwa yang bersangkaut paut dengan klen. Tokoh klen serupa itu di sebut moncol. Klen tersebut tidak mempunyai peraturan tertulis, akan tetapi mempunya silsilah/babad. Ditingkat desa ada kesatuan-kesatuan administratif yang disebut perbekelan. Suatu perbekelan yang sebenarnya merupakan warisan dari pemerintah Belanda, diletakkan diatas kesatuan-kesatuan adat yang asli di Bali, seperti desa adat dan banjar. Maka terdapatlah gabungan-gabungan dari banjar dan desa ke dalam suatu perbekelan yang dipimpin oleh perbekel atau bendesa yang secara administratif bertanggung jawab terhadap atasannya yaitu camat, dan seterusnya camat bertanggung jawab kepada bupati.

RUNTUHNYA KERAJAAN MENGWI

RANGKUMAN
(Cerita dari sumber setelah rangkuman)
pada awal tahun 1891 mulai timbul kekacauan di Kerajaan Mengwi karena percekcokan antara Raja dengan Adipati Agung, Gusti Agung Made Alangkajeng yang terkenal sebagai pimpinan perang yang ulung dan gagah perkasa sehingga beliau mendapat julukan sebagai “Macan Kerajaan Mengwi” . Hal ini menyebabkan kepergian Gusti Agung Made Alangkajeng dari Mengwi dan menetap di wilayah Badung. Hal ini diketahui oleh Dewa Agung (Raja Klungkung) yang terlibat percekcokan dengan Raja Mengwi (kerajaan Mengwi menginginkan kedudukan yang sama dengan Kerajaan Klungkung / berdiri sendiri) dan dengan tipu muslihat untuk menghancurkan Kerajaan Mengwi, akhirnya memerintahkan Kerajaan Badung dibantu oleh Kerajaan Tabanan dan Kerajaan Gianyar untuk menghancurkan Mengwi.
Melihat keadaan yang demikian Raja Karangasem Gusti Gde Jelantik yang masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan Kerajaan mengwi merasa mempunyai tanggung jawab untuk bertindak. Raja Karangasem ingin pergi ke Mengwi dengan pasukan yang lebih besar untuk memulihkan keadaan dan keamanan di wilayah Mengwi. Untuk itu raja Karangasem minta ijin kepada Dewa Agung untuk melewati wilayahnya dalam perjalanan menuju Mengwi. Permintaan tersebut ditolak oleh Dewa Agung dan hanya 50 orang orang yang dijinkan melalui daerahnya untuk pergi ke Mengwi, itupun tanpa membawa senjata kecuali keris. Dewa Agung khwatir apa bila hal tersebut dibiarkan maka keadaan akan semakin kacau dan perang besar tidak akan bisa dihindarkan antara Kerajaan Karangasem dengan Kerajaan Pemecutan Badung.
Dewa Agung kemudian memerintahkan menutup perbatasan Klungkung dengan Karangasem dan memerintahkan dibangun kubu-kubu pertahanan untuk mengantisipasi kemungkinan yang akan terjadi.. Hal tersebut menimbulkan reaksi dari Kerajaan karangasem yang kemudian membangun pula benteng-benteng pertahanan dan pertempuran kecil-kecilan tidak terhindarkan sehingga menyebabkan kedua kerajaan dalam keadaan perang.
Kerajaan Lombok ingin membantu Kerajaan Karangasem dalam peperangan melawan Klungkung, namun hal tersebut diketahui oleh Residen/Komisaris pemerintah Hindia-Belanda di Singaraja M.C Dannenbargh yang mengkwatirkan Raja Selaparang Lombok akan mengail di air yang keruh memanfaatkan setuasi yang demikian.
Dalam kunjungannya ke Lombok, M.C Dannenbargh berhasil meyakinkan Raja Selaparang untuk membatalkan keinginannya tersebut sehingga terhindarlah perang yang lebih besar terjadi di daerah Bali. Sebagai balasan atas tindakan Dewa Agung, maka Raja Karangasem Gusti Gde Jelantik diam-diam memberi ijin kepada punggawa-punggawa Kerajaan Gianyar yang mengalami pengasingan di Karangasem kembali ke daerah asalnya. Oleh karena itu punggawa Abianbase, Punggawa Blahbatuh Gusti Ngurah Made dan Punggawa Sukawati Anak Agung Gde Agung bertolak kembali ke daerah asalnya masing-masing sehingga memaksa punggawa-punggawa yang diangkat oleh Dewa Agung terpaksa kembali ke Klungkung seperti Cokorde Lingsiryang bertugas di Blahbatuh. Ketiga Punggawa-punggawa tersebut telah kembali ke Gianyar dan menempatkan diri dibawah kekuasaan Raja Karangasem
Kembali ke keadaan di wilayah Badung Pemecutan, Setelah perang antara Badung dengan megwi berakhir maka tiga serangkai Raja Tabanan, Raja Badung Pemecutan dan Raja Gianyar sepakat untuk mengadakan perjanjian kerjasama di bidang pertahanan. Perjanjian tersebut dilaksanakan di daerah Badung dan Raja Tabanan diwakili oleh Sirarya Ngurah Made Kaleran, sedangkan Raja Gianyar I Dewa Pahang hadir secara langsung dalam acara tersebut.
Di Badung tepatnya di Pura Nambangan Badung ketiga raja tersebut beserta Manca dan pejabatnya masing masing mengangkat sumpah (padewa Saksi) untuk menjalin hubungan persahabatan untuk saling membantu satu sama lainnya.
Kembali kedaerah Mengwi setelah pemerintahan Anak Agung Putu Kukus berjalan 5 tahun mulai terjadi pemberontakan kecil kecilan oleh rakyat Mengwi yang dipimpin oleh I Gusti Agung KerugNamun pemberontakan tersebut dapat dipadamkan dan I Gusti Agung Kerug dapat meloloskan diri menuju desa Angantaka.
CERITA SELENGKAPNYA :
Pada Waktu Kerajaan Mengwi dibawah pemerintahan putra dari I Gusti Agung Sakti yaitu I Gusti Made Agung Alangkajeng hubungan Kerajaan Mengwi dan Kerajaan Badung agak membaik, hal tersebut terjadi karena I Gusti Made Agung Alangkajeng merelakan putrinya yaitu Ni Gusti Ayu Bongan kawin dengan Angurah Pemecutan III/ Ida Bhatara Maharaja Sakti sehingga melahirkan putra Anak Agung Gde Oka yang dibuatkan Jero di Kaleran Kawan. Dan sebagai hadiah perkawinan maka daerah pesisir seseh sampai bukit Uluwatu diberikan kepada Kerajaan Badung , tetapi adanya Pura Ulunsuwi dan Pura Uluwatu harus dipelihara oleh Kerajaan Badung.
Semenjak itu Kerajaan Mengwi dan Kerajaan Badung hidup rukun sebagai suatu keluarga besar demikian seterusnya sampai berjalan empat keturunan. Setelah pemerintahan dipegang oleh I Gusti Agung Bhima Saktipolitik pemerintahan Kerajaan Mengwi mengalami perubahan antara lain dengan adanya keinginan untuk mengambil bekas wilayah Mengwi yang diambil oleh kerajaan Badung. Selain itu pada masa pemeritahan I Gusti Agung Bhima Sakti dengan dibantu oleh 2 adipati Agung yaitu Gusti Putu Mayun dan Gusti Made Ngurah timbul kecendrungan dari pemuka-pemuka Kerajaan Mengwi untuk bertindak lebih bebas dari kekuasaan Dewa Agung di Klungkung sehingga kerajaan Mengwi mempunyai kedudukan yang sama dengan Kerajaan Klungkung. Hal demikian tentunya ditentang keras oleh Dewa Agung di Klungkung yang menghendaki agar semua kerajaan di Bali dihimpun dibawah kekuasaan Kerajaan klungkung.
pada awal tahun 1891 mulai timbul kekacauan di Kerajaan Mengwi karena percekcokan antara Raja dengan Adipati Agung, Gusti Agung Made Alangkajeng yang terkenal sebagai pimpinan perang yang ulung dan gagah perkasa sehingga beliau mendapat julukan sebagai “Macan Kerajaan Mengwi”. Gusti Agung Made Alangkajeng mengambil istri dari Puri Arya Tegeh Kuri di Badung dan karena perselisihan tersebut beliau meninggalkan Kerajaan Mengwi dengan membawa pusaka-pusaka Kerajaan dan menetap di Badung.
Selain itu punggawa Sibang juga memperlihatkan sikap bermusuhan dengan Kerajaan Mengwi dan ingin berdiri sendiri, hal tersebut terjadi karena punggawa tersebut dihukum akibat dituduh melakukan tindak pidana melanggar sopan santun. Raja Mengwi minta bantuan Dewa Agung dari Klungkung untuk menengahi persoalan tersebut, akan tetapi campur tangan Dewa Agung ternyata malah merugikan Kerajaan Mengwi sendiri karena Dewa Agung justru membujuk Punggawa Sibang untuk memberontak terhadap rajanya. Alasan Dewa Agung bertindak demikian karena tindakan raja Mengwi yang menduduki sebagian daerah Negara seusai pemberontakan Cokorde Gde Oka Negara terhadap Dewa Manggis (VII) Raja Gianyar.
Oleh karena itu Dewa Agung dengan didukung oleh Adipati Agung Dewa Agung Rai dengan penasehat AgungPedanda Ida Ketut Pidada ingin mengail didalam air keruh dan mengadakan campur tangan dalam kekacauan politik di Mengwi. Hubungan Kerajaan Karangasem dan Kerajaan Mengwi erat karena adanya pertalian persaudaraan, maka Dewa Agung Minta bantuan Raja karangasem Gusti Gde Jelantik untuk pergi ke kerajaan Mengwi dengan tujuan untuk mengusahakan perdamaian di sana. Gusti Gde Jelantik bersedia memenuhi permintaan Dewa Agung tersebut.
Dewa Agung mengharapkan misi tersebut dapat mencapai hal sebagai berikut :
  1. Permusuhan di Mengwi antara golongan dan ketegangan dengan Kerajaan Badung harus dihentikan.
  2. Menyakinkan Raja Mengwi untuk menghentikan usahanya mendapatkan kebebasan dari Klungkung dan kembali lagi pada keadaan dahulu yaitu Kerajaan Mengwi merupakan bagian dari Kerajaan Klungkung dimana Dewa Agung memegang kekuasaan tertinggi.
  3. Meyakinkan Raja Mengwi agar menarik pasukannya dari daerah Negara dan menghentikan pendudukan di daerah tersebut.
Hasil kunjungan Raja Karangasem menghasilkan kesepakatan bahwa Raja Mengwi bersedia pergi ke Klungkung menghadap Dewa Agung untuk minta Maaf atas keikhlafannya, tetapi dengan syarat Raja Karangasem Gusti Gde Jelantik harus turut serta. Raja Mengwi takut hal yang sama akan menimpanya seperti raja Gianyar Dewa Manggis (VII) pada tahun 1885 diasingkan di Satria ketika akan menghadap Dewa Agung.
Hasil kunjungan Gusti Gde Jelantik telah dilaporkan kepada Dewa Agung dan kedatangan Raja Mengwi ditungu tunggu di Klungkung namun Raja Mengwi tidak muncul muncul. Penundaan keberangkatan Raja Mengwi disebabkan karena Punggawa Sibang tidak bersedia turut serta dengan rombongan Raja Mengwi, Raja Mengwi takut Punggawa Sibang akan mengadakan pemberontakan tatkala dirinya tidak ada di Puri Mengwi. Namun dibalik itu semua ternyata Dewa Agunglah yang memberi nasehat kepada Punggawa Sibang agar tidak ikut dalam rombongan Raja Mengwi ketika menghadap dirinya ke Kerajaan Klungkung.
Ketidakharmonisan hubungan Kerajaan Mengwi dan Badung dimulai ketika Kerajaan Mengwi membendung empelan Tukad Mambal sehingga sawah sawah yang ada di wilayah Kerajaan Badung menjadi kekeringan dan gagal panen yang berkali kali sehingga menimbulkan kepalaran. Dekimian pula di daerah Tegal Linggah , Kerobokan, Mergaya, Abiantimbul, berkali kali Mengwi melakukan pelanggaran dengan memasuki wilayah Badung secara gelap sehingga menimbulkan rasa tidak aman bagi penduduk di wilayah tersebut,
Untuk mengantisipasi hal tersebut maka Puri Pemecutan mengambil langkah langkah sebagai berikut :
  1. Daerah Mergaya ditugaskan kepada Anak Agung Gde Banjar dari Jero Dawan Kanginan untuk membuat perkemahan di tepat tersebut bersama putra putra beliau.
  2. Daerah Umaduwi ditugaskan kepada Anak Agung Putu Pande untuk membuat perkemahan di Agel Abiantimbul.
  3. Desa Jimbaran ditugaskan Anak Agung Gde Pande dari Jero Dawan Tegal untuk membuat perkemahan di Br tegal Jimbaran.
  4. Daerah Kuta sampai Seminyak ditugaskan kepada Putra putra Kiyai Lanang Ukiran Jero peken Pasah yaitu Jero Seminyak, Jero legian Kaja dan Jero Temacun dipimpin oleh Kiyai Lanang Legian
Diceritakan keadaan disemua front, infiltrasi laskar Mengwi semakin meningkat, tiap hari terjadi pertempuran kecil-kecilan, masing masing berusaha mengintimidasi satu sama lainnya. Di daerah Sempidi mulai pecah perang antara Pemecutan melawan Mengwi. Laskar andalan Mengwi sudah bersiap-siap disebelah utara sedangkan laskar Pemecutan dipimpin oleh Anak Agung Made Banjar, cucu dari Kiyai Agung Lanang Dawandengan dibantu oleh para Wargi, Tambyak dan laskar Bugis berada di sebelah selatan.
Kedua belah pihak sama sama mengeluarkan senjata andalannya, dari pihak Sempidi mengeluarkan keris Penglipuran dan Ki Sekar Gadung sedangkan laskar Padangsambian mengeluarkan tombak Sableg yang mengeluarkan cahaya biru yang amat ditakuti oleh laskar Sempidi, sebab mereka telah membuktikan keampuhan senjata tersebut pada waktu mereka mengikuti I Kiter menyerang Desa Tegallinggah.
Kiyai Wayan Lemintang di Jero Peguyangan mengirim putranya untuk membantu laskar Padangsambian, mereka menuju desa Benoh dan membuat perkemahan di Petangan Ubung dan sampai sekarang keturunan beliau masih bertempat tinggal di Petangan Ubung. Laskat Bugis diperintahkan maju menuju desa Sibang, disana mereka dihadang oleh laskar Sibang yang sudah siap tempur sehingga pertempuran tidak terelakkan lagi dan menimbulkan korban yang cukup banyak dari kedua belah pihak. Laskar Bugis menembakkan senjata meriam sehingga tepat mengenai pohon beringin di pasar Sibang sehingga pohon tersebut tumbang dan membuat ketakutan laskar Sibang, Semua laskar Sibang kemudian mengundurkan diri ke Desa Mambal dan laskar Peguyangan dan laskar Bugis terus mengepungnya.
Pertemuan di wilayah Sempidi tidak kalah serunya, Laskar Padangsambian dibantu oleh Tambiyak dan laskar Jero Petangan mendesak laskar Sempidi sampai di bencingah Jero Sempidi. Anak Agung Putu Kuskus, Anak Agung Putu Riyong dan Anak Agung Putu Gde Grejeg pimpinan laskar Pemecutan sedang memburu I Gusti Agung Rai pimpinan laskar Sempidi. I Ngetis dari laskar Pemecutan sedang terlibat pertempuran dengan memutar mutar tombak Sableg sehingga laskar Sempidi banyak yang menemui ajalnya sedangkan sisanya yang masih hidup lari menyelamatkan diri. I Gusti Agung Rai karena sudah terdesak melarikan diri kedalam Jero.
Tidak berapa lama dari dalam Jero Sempidi berkibarlah bendera putih tanda menyerah, seorang utusan keluar dari Jero Sempidi membawa bendera putih menuju markas Pemecutan dengan membawa surat. Dalam surat tersebut I Gusti Agung Rai menyatakan menyerah dan menyatakan tunduk kepada Pemecutan dan siap mengabdi.
Anak Agung Made Banjar sebagai pimpinan tertinggi Laskar Pemecutan menerima permohonan tersebut tetapi dengan syarat I Gusti Agung Rai tidak diperkenanan lagi untuk tinggal di Jeronya semula, Jero tersebut akan dihancurkan semua sebagai pembayaran pampasan perang. Untuk pembangunan jero yang baru I Gusti Agung Rai diperkenankan disebelah barat pasar Sempidi. Laskar Padangsambian membongkar semua bangunan di Jero Sempidi. Anak Agung putu Grejeg mengambil keris yang bernama Ki Sekar Gadung dan seperangkat bale gede saka roras meperada. Keris tersebut sampai sekarang masih tersimpan di Pemerajan Jero Dawan Tegal. Putra Kiyai Wayan Lumintang mengambil keris yang bernama Si Penglipuran dan sampai sekarang masih tersimpan di Pemerajan Jero Petangan Ubung.
Anak Agung Gde Banjar mengangkut seperangkat bale gede saka roras meperada terus dibangun di Jero Dawan kanginan. Anak Agung Putu Reyong mengangkut bale bale yang telah dibongkarnya dan dibangun kembali di Br Buana Agung. Sedangkan bekas Jero Sempidi disita dibagi oleh 5 kemoncolan Dawan. Masing masing moncol membangun Jero ditempat tersebut.
Setelah pertahan Kerajaan Mengwi di Desa Sempidi, Dalung dan Sibang dapat dihancurkan maka kekuatan induk pertahanan kerajaan mengwi dipusatkan di desa Mengwitani dan diperkuat oleh pasukan andalan Mengwi yaru Pasukan Teruna Bata Batu. Melihat situasi demikian Anak Agung Made Banjar sebagai pimpinan tertinggi Laskar Pemecutan berpedapat bahwa jika laskar Pemecutan mengempur daerah tersebut tentunya akan menimbulkan korban yang sangat banyak dari pihak Pemecutan sehingga beliau memutuskan untuk merubah siasat akan menyelinap ke jantung pertahanan musuh didampingi oleh pasukan berani mati laskar Pemecutan.
Anak Agung Made Banjar sendiri yang akan memimpin laskar berani mati tersebut dibantu oleh 4 orang pilihannya dari jero Pekandelan ada yang namanya Nang Semblong. Pada jam 3 pagi berangkatlah Anak Agung Made Banjar bersama 4 orang pengiringnya menuju Mengwi. Sesampainya di desa Pupuhan, beliau dicegat oleh laskar Mengwi sehingga terjadilah pertempuran namun hal tersebut berhasil diatasinya. Desa tersebut sekarang dinamakan desa Pupuan (Pupuh berarti dikeroyok dan dipukuli)
Pada jam 8 pagi Anak Agung Made Banjar bersama 4 orang pengiringnya telah sampai di bencingah Puri Mengwi, beliau beristirahat sejenak sambil melihat situasi untuk melakukan penyerangan. Anak Agung Made Banjar bersama 4 orang benar benar berjibaku tanpa membawa senjata kecuali kain putih yang dinakan kekudung. Selama berteduh di Bencingan Puri Mengwi sama sekali tidak ada orang yang menaruh curiga kepada Anak Agung Made Banjar bersama 4 orang pengiringnya.
Tanpa disangka sangka keluarlah iringan Raja Mengwi I Gusti Agung Bhima Sakti dengan dikawal oleh pasukan berani mati Taruna Batu Bata yang bermaksud akan muspa ke Pura Taman Ayun. Beliau diusung dengan tandu kebesaran, diapit oleh permaisuri dan para selir semuanya berpakaian serba putih bagaikan orang yang akan maju ke medan perang. Suasana menjadi sangat hening, rakyat menundukkan kepala memberi penghormatan kepada Raja yang lewat.
Kesempatan tersebut tidak disia siakan oleh Anak Agung Made Banjar bersama 4 orang pengiringnya dengan secepat kilat melompat keatas tandu sang Raja. Hal tersebut menimbulkan kepanikan dari Raja dan pengiringnya sehingga pertempuran tidak terelakkan lagi. I Gusti Agung Bhima Sakti menghunus keris sakti Ki Bintang Kukus yang mengeluarkan cahaya yang gemerlapan langsung ditusukkan ke dada Anak Agung Made Banjar, namun keris tersebut ternyata tidak mampu menembus badan Anak Agung Made Banjar.
Perang tanding kemudian dilanjutkan di bawah dan berlangsung dengan sangat hebatnya. Masing masing berusaha secepatnya menjatuhkan lawannya sampai akhirnya Anak Agung Made Banjar mengeluarkan kekudung putih yang membuat Raja Mengwi I Gusti Agung Bhima Sakti jatuh tak sadarkan diri. Pasukan Taruna Bata Batu kemudian melarikan Rajanya menuju desa Kaba Kaba. Pertempuran kemudian berlanjut antara Anak Agung Made Banjar bersama 4 orang pengiringnya melawan pasukan Taruna Batu Bata, karena lawan yang tidak seimbang 4 orang pengiring Anak Agung Made Banjar tewas dalam pertempuran tersebut. Sedangkan Anak Agung Made Banjar menderita luka yang cukup parah terus mengamuk dengan kekudung putihnya sehingga pasukan Taruna Batu Bata banyak yang menjadi korban, sisanya yang masih hidup lari menyelamatkan diri.
Diceritakan kembali kedaan Raja Mengwi I Gusti Agung Bhima Sakti didalam perjalanan menuju desa Kaba-Kaba masih dalam keadaan belum sadarkan diri, sesampainya beliau di desa Mengwitani menghembuskan nafasnya yang terakhir. Beliau dinyatakan wafat pada tanggal 20 Juni 1891 jam 11 siang. Dengan gugurnya Raja Mengwi I Gusti Agung Bhima Sakti, seluruh pertahanan Kerajaan Mengwi kehilangan semangat tempurnya sehingga banyak yang sudah meninggalkan pos pos pertahanannya.
Kedua Adipati Agung Kerajaan Mengwi yaitu Gusti Putu Mayun dan Gusti Made Ngurah dapat menyelamatkan diri ke desa Seseh dan dari tempat tersebut menuju padang cove untuk seterusnya menuju Kerajaan Karangasem menghadap Raja Gusti Gde Jelantik. Pada waktu kedua adipati tersebut menghadap raja Karangasem kontrolir Belanda J.H Liefrinck sedang berada disana dan menurut lasporannya Raja Karangasem memperlihatkan sepucuk surat dari Raja Badung menjawab surat darinya yang mempertanyakan mengapa kerajaan Badung menyerang daerah Sibang. Jawabannya bahwa hal tersebut dilakukan atas perintah langsung Dewa Agung.
Mengetahui hal tersebut kedua adipati sangat menyesalkan sikap Dewa Agung tersebut yang menyarankan kepada Kerajaan Mengwi untuk berdamai dengan kerajaan Badung sehingga Kerajaan Mengwi tidak sempat membangun benteng-benteng pertahanan untuk mengantisipasi serangan tersebut. Raja Karangasem Gusti Gede Jelantik sangat malu karena beliaulah yang menjadi utusan Dewa Agung ke Kerajaan Mengwi untuk menyampaikan amanat dari Dewa Agung tersebut yang ternyata semua itu adalah muslihat untuk menghancurkan Kerajaan Mengwi.
Di Markas besar laskar Dawan Pemecutan di Sempidi setelah mendengar wafatnya Raja Mengwi I Gusti Agung Bhima Sakti, seluruh pasukan diperintahkan maju memasuki Puri Mengwi. Didalam perjalanan menuju Puri Mengwi tidak ada perlawanan yang berarti. Seluruh lascar Dawan Pemecutan sudah berada di sekitar areal Puri Megwi dengan pegelaran bulan sabit, siap tempur sehingga tak satupun warga Mengwi yang berani keluar rumah semuanya bersembunyi di rumah masing-masing.
Sebagian laskar Dawan Pemecutan menyelamatkan pimpinan pasukan Anak Agung Made Banjar yang menderita luka sangat parah untuk dibawa menuju desa Pangsambian. Pada jam 4 sore sampailah rombongan tersebut di Padangsambian dan Anak Agung Made Banjar karena menderita sangat parah akhirnya menghembuskan nafasnya yang terakhir pada jam 6 sore. Namun sebelum beliau meninggal beliau masih sempat memberikan petuah-petuah untuk kelurganya.
Kembali ke keadaan Puri Mengwi, bendera putih berkibar di di pintu gerbang Puri sebagai pertanda Kerajaan sudah menyerah dan tunduk kepada kekuasaan kerajaan Pemecutan. Dan tidak berapa lama 2 orang utusan keluar dari puri dengan membawa bendera putih berjalan menuju markas laskar Dawan Pemecutan yang sedang membuat tenda di Bencingah Puri mengwi. Utusan tersebut bernama I Gusti Agung Kerug dan I Gusti Agung Bedu keduanya masih kerabat Raja Mengwi dan mereka berdua datang sebagai wakil kerajaan Mengwi untuk mengadakan perudingan dengan pimpinan Laskar Dawan Pemecutan yang sekarang diambil oleh Anak Agung Putu Kukus.
Dalam perundingan tersebut kerajaan Mengwi menyatakan menyerah dan mulai saat ini seluruh daerah kekuasaan Kerajaan Mengwi diserahkan kepada Puri pemecutan dan disertai permohonan agar semua keluarga Puri masih tetap diperkenankan diperkenankan untuk tinggal di dalam Puri. Untuk sementara waktu pimpinan laskar Dawan Pemecutan Anak Agung Putu Kukus dapat menerima hal tersebut tetapi dengan catatan apabila terjadi perbuatan yang dapat merugiakan pihak Pemecutan maka Puri Mengwi akan dihancurkan seperti halnya Jero Sempidi diratakan dengan tanah sebagai pampasan perang.
Setelah kerajaan Mengwi menyerah, maka untuk menjalankan pemerintahan sementara diambil oleh Anak Agung Putu Kukus , dan beliau membangun Puri disebelah utara Puri Mengwi menghadap keselatan bernamaPuri Dawan Mengwi. Laskar Kyai Lanang Kemoning dari Jero Bantanmoning Grenceng ikut mematahkan perlawanan Mengwi dari arah barat. Untuk mengantisipasi terjadinya pemberontakan kembali maka laskar Lanang Kemoning diperintahkan membangun Jero disebelah Puri Mengwi. Untuk melestarikan persatuan seluruh laskar Pemecutan di Mengwi maka dibangun Bali banjar diberi nama Banjar Badung.
Dengan kekalahan tersebut hancurlah Keraaj Mengwi yang pada masa lampau merupakan salah satu kerajaan besar dan Jaya di Bali. Sebagaimana diketahui pada abad ke 18 Badung masih merupakan bagian dari Kerajaan Mengwi dan baru pada awal abad ke 19 Badung dibawah pimpinan Gusti Ngurah Made Pemecutan/ Maharja Bhatara sakti/ Anglurah pemecutan III melepaskan diri dari Kerajaan Mengwi dan muncul sebagai kerajaan yang berdiri sendiri.
Wilayah bekas kerajaan Mengwi sekarang diduduki oleh Kerajaan Pemecutan Badung untuk wilayah selatan dan wilayah barat dikuasai oleh Kerajaan Tabanan. Dengan dikuasainya desa kapal dan Mengwitani oleh kerajaan Pemecutan maka kerajaan ini mempunyai gubungan langsung dengan Kerajaan Tabanan yang senantiasa diidam-idamkan oleh dua kerajaan ini. Daerah Sibang diperintah langsung oleh Dewa Agung dari Klungkung sedangkan desa Bongkasa, Carangsari dan Angantaka dikuasai oleh Punggawa Ubud Cokorde Gde Sukawati.
Melihat keadaan yang demikian Raja Karangasem Gusti Gde Jelantik yang masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan Kerajaan mengwi merasa mempunyai tanggung jawab untuk bertindak. Raja Karangasem ingin pergi ke Mengwi dengan pasukan yang lebih besar untuk memulihkan keadaan dan keamanan di wilayah Mengwi. Untuk itu raja Karangasem minta ijin kepada Dewa Agung untuk melewati wilayahnya dalam perjalanan menuju Mengwi. Permintaan tersebut ditolak oleh Dewa Agung dan hanya 50 orang orang yang dijinkan melalui daerahnya untuk pergi ke Mengwi, itupun tanpa membawa senjata kecuali keris. Dewa Agung khwatir apa bila hal tersebut dibiarkan maka keadaan akan semakin kacau dan perang besar tidak akan bisa dihindarkan antara Kerajaan Karangasem dengan Kerajaan Pemecutan Badung.
Dewa Agung kemudian memerintahkan menutup perbatasan Klungkung dengan Karangasem dan memerintahkan dibangun kubu-kubu pertahanan untuk mengantisipasi kemungkinan yang akan terjadi.. Hal tersebut menimbulkan reaksi dari Kerajaan karangasem yang kemudian membangun pula benteng-benteng pertahanan dan pertempuran kecil-kecilan tidak terhindarkan sehingga menyebabkan kedua kerajaan dalam keadaan perang. Kerajaan Lombok ingin membantu Kerajaan Karangasem dalam peperangan melawan Klungkung, namun hal tersebut diketahui oleh Residen/Komisaris pemerintah Hindia-Belanda di Singaraja M.C Dannenbargh yang mengkwatirkan Raja Selaparang Lombok akan mengail di air yang keruh memanfaatkan setuasi yang demikian.
Dalam kunjungannya ke Lombok, M.C Dannenbargh berhasil meyakinkan Raja Selaparang untuk membatalkan keinginannya tersebut sehingga terhindarlah perang yang lebih besar terjadi di daerah Bali. Sebagai balasan atas tindakan Dewa Agung, maka Raja Karangasem Gusti Gde Jelantik diam-diam memberi ijin kepada punggawa-punggawa Kerajaan Gianyar yang mengalami pengasingan di Karangasem kembali ke daerah asalnya. Oleh karena itu punggawa Abianbase, Punggawa Blahbatuh Gusti Ngurah Made dan Punggawa Sukawati Anak Agung Gde Agung bertolak kembali ke daerah asalnya masing-masing sehingga memaksa punggawa-punggawa yang diangkat oleh Dewa Agung terpaksa kembali ke Klungkung seperti Cokorde Lingsiryang bertugas di Blahbatuh. Ketiga Punggawa-punggawa tersebut telah kembali ke Gianyar dan menempatkan diri dibawah kekuasaan Raja Karangasem
Kembali ke keadaan di wilayah Badung Pemecutan, Setelah perang antara Badung dengan megwi berakhir maka tiga serangkai Raja Tabanan, Raja Badung Pemecutan dan Raja Gianyar sepakat untuk mengadakan perjanjian kerjasama di bidang pertahanan. Perjanjian tersebut dilaksanakan di daerah Badung dan Raja Tabanan diwakili oleh Sirarya Ngurah Made Kaleran, sedangankan Raja Gianyar I Dewa Pahang hadir secara langsung dalam acara tersebut.
Di Badung tepatnya di Pura Nambangan Badung ketiga raja tersebut beserta Manca dan pejabatnya masing masing mengangkat sumpah (padewa Saksi) untuk menjalin hubungan persahabatan untuk saling membantu satu sama lainnya. Setelah acara selesai Raja Gianyar I Dewa Pahang kembali ke Puri Gianyar sedangkan wakil Raja Tabanan Sirarya Ngurah Made Kaleran menginap semalam di Puri Pemecutan. Keesokan harinya rombongan mampir ke Puri Denpasar dan disuguhi hidangan. Ketika rombongan sedang bersantap tiba tiba Sirarya Ngurah Made Kaleran ditikam oleh Kiyai Ngurah Rai dari Jero Beng Kawan dengan keris yang bernama I Ratu Puri kaleran yang merupakan keris anugrah dari Dalem Klungkung.
Sirarya Ngurah Made Kaleran tewas ditempat dan seisi puri menjadi panik dan kentongan tanda bahayapun di bunyikan sehingga pengawal Puri berhamburan masuk ketempat kejadian. Kyai Ngurah Rai kemudian ditangkap dan dibunuh di tempat tersebut dan mayatnya ditarik lewat sombah (lubang pembuangan air dibawah tembok) karena saking marahnya rakyat Badung karena kejadian tersebut. Peristiwa tersebut menyisakan duka yang dalam bagi Kerajaan Badung dan Tabanan dan jenazah Sirarya Ngurah Made Kaleran diusung kembali ke Tabanan dan dimakamkan di tanah kelahirannya. Sirarya Ngurah Made Kaleran setelah meningal diberi julukan I Ratu Karuwek Ring Badung.
Kembali kedaerah Mengwi setelah pemerintahan Anak Agung Putu Kukus berjalan 5 tahun mulai terjadi pemberontakan kecil kecilan oleh rakyat Mengwi yang dipimpin oleh I Gusti Agung Kerug. Namun pemberontakan tersebut dapat dipadamkan dan I Gusti Agung Kerug dapat meloloskan diri menuju desa Angantaka. Keadaan dapat dipulihkan kembali berkat kesigapan laskar Pemcutan mengantisiasi hal tersebut
Sumber :

http://sejarah-puri-pemecutan.blogspot.com/2010/01/raja-pemecutan-ix.html